Selasa, 13 September 2011

Hakikat Ubudiah

Jika engkau berkeyakinan bahwa engkau sam¬pai kepada-Nya hanya setelah lenyapnya semua keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, maka engkau selamanya tidak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaik.
Banyak sekali dalil agama yang menunjukkan bahwa amal saleh adalah jalan ke surga, sedang amal buruk adalah ja¬lan ke neraka. Allah telah menjanjikan surga naim bagi kaum mukmin dan mengancam orang-orang durhaka dengan neraka jahim. Allah menolak mempersamakan dua kelompok itu dalam balasan, se¬bab itu tidaklah adil.

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan
? (Q.S. al-Qalam [68]: 34-36).

Allah memberitakan bahwa nikmat yang dirasakan oleh ahli iman yang beramal saleh itu kekal, tidak berubah.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan. Kekal mereka di dalamnya, sebagai janji Allah yang benar 
(Q.S. Luq¬mân [31]: 8-9).

Dia memberitakan bahwa orang-orang fasik dan kafir mesti merasakan azab yang menyakitkan.

Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesem¬bahan yang lain beserta Allah. Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat. Yang menyertai dia berkata (pula), “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada di ke¬sesatan yang jauh.” Allah berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberi¬kan ancaman kepadamu.” Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku
 (Q.S. Qâf [50]: 24-29).

Ayat-ayat ini, juga ratusan ayat lainnya, menunjukkan de¬ngan jelas bahwa manusia sendirilah yang menentukan tempat kembalinya. Tangannya sendirilah membuat jalan untuk masa depannya. Takdir Tuhan tidak pernah membawa manusia ke negeri pembalasan dalam keadaan hina.

Yang manusia petik di akhirat adalah hasil dari yang mereka tanam di dunia. Kalau ada yang menyatakan pendapat selain pendapat ini, orang itu kalau tidak bodoh tentang Islam pastilah mengada-ada ajarannya.

Akan tetapi, di antara kesempurnaan amal saleh adalah harus sesuai de¬ngan ketentuan dan tidak melampui batasan-batasannya. Orang yang beranggapan bahwa ibadah beberapa tahun di bumi merupakan tiket memperoleh kekekalan di langit, sebenarnya adalah orang yang gegabah. Orang yang mengira bahwa ketaatan yang dipersembah¬kannya begitu bersih dan sempurna, sebetulnya adalah orang yang tertipu. Orang yang menduga bahwa amal-amal wajib dan sunah yang dilakukannya lebih berat dari nikmat-nikmat yang diterimanya di dunia, sesungguhnya adalah orang yang sedang melucu.

Sebenarnya, Allah melihat niat baik dalam hati orang beriman kemudian memaafkan banyak kesalahan yang mereka lakukan secara tak sengaja, memaafkan segenap keterbatasan mereka, dan memperbanyak amal mereka yang tidak seberapa, sebagaimana memperbanyak hasil panen tanaman petani meski benihnya sedikit. Kalau tidak demikian, maka tak se¬orang pun akan merasakan lezatnya keselamatan.

Dan kalau saja bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya ke¬pada ka¬lian, maka Dia selamanya tidak akan menyucikan seorang pun dari kalian, tetapi Allah menyucikan siapa yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Nûr [24]: 21).

Tertipu oleh ilmu yang dimiliki adalah kehinaan yang menjatuhkan nilai amal. Jika seseorang berpinta kepada Allah agar mendekatkannya kepada-Nya atau memperbanyak ganjaran baginya sebab ia merasa telah mengerahkan usa¬ha yang sungguh-sungguh untuk itu, maka sebenarnya ia tidak berhak mendapat se¬suatu yang istimewa di sisi Allah.

Yang harus dilakukan oleh muslim adalah memper¬sembahkan sesuatu kepada Allah seraya mengakui kekurangan dirinya, meyakini bahwa hak Allah sedikit pun tidak bisa ditebus dengan amal terbaiknya, meyakini bahwa kalau saja Allah tidak menyelamatkannya dengan rahmat-Nya, pastilah ia akan binasa. Betapa pun ia telah menyerahkan jiwa dan harta untuk-Nya, itu belum cukup untuk memperoleh ganjaran. Bukankah Dia ada¬lah Pencipta jiwa dan Pemberi harta itu? Jika kemudian Dia memasukkannya ke dalam surga, bukankah itu karunia dari-Nya?

Lihatlah serentetan amal yang engkau lakukan sepanjang usia¬mu. Amal manakah yang luput dari kecacatan nafsu dan bebas dari kekurangan? Kalau amal-amal itu adalah amal orang lain, lalu diberikan kepadamu, tentu kamu tidak akan menerimanya. Seorang mukmin hakiki hanya beramal, tetapi tidak pernah berharap banyak ataupun mengagung-agungkan amalnya.

Barangkali uraian di atas bisa menafsirkan hadis Nabi yang cukup masyhur, “Tak seorang pun yang akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat berkata, “Tidak juga engkau, wahai Rasu¬lullah?” Nabi menjawab, “Tidak juga aku, kecuali kalau Allah meliputiku dengan rahmat-Nya.” (H.R. al-Bukhârî).

Anehnya, banyak orang memahami larangan berbangga diri sebagai pengguguran nilai amal secara keseluruhan. Sehingga, muncul di benak mereka pemahaman seperti ini; amal tidak me¬masukan pelakunya ke surga, maka tak perlu kita memerhatikan amal ataupun mengerahkan kesungguhan untuk ber¬amal! Mereka memutuskan bahwa amal saleh bu¬kan jalan menuju surga dan surga adalah pemberian Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya, walau orang itu tidak beramal sama sekali. Bahkan, beberapa ahli kalam yang bodoh beranggapan bahwa orang-orang jahat bisa masuk surga dan orang-orang baik masuk neraka.

Itu adalah pemikiran yang mengada-ada, mendustakan Allah dan Rasul-Nya.

Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab ne¬raka Jahanam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Q.S. al-Zukhruf [43]: 72-76).

Sumber: Syekh Muhammad al-Ghazali

Percayakan kepada Tuhan!

Pinta tak akan tertolak selama engkau memohon kepada Tuhan. Namun, pinta tak akan terkabulkan selama engkau mengandalkan dirimu sendiri.
Ketika kaum muslim bertempur dalam Perang Ba¬dar, mereka sadar bahwa perang adalah kewajiban sekalipun peralatan dan persenjataan perang mereka sangatlah tidak memadai. Kepercayaan mereka kepada Allah menjadi amat ting¬gi, dan keyakinan mereka akan pertolongan-Nya amat besar.

Kepercayaan mereka akan diri mereka sendiri sangat kecil bahkan lenyap digantikan oleh kepercayaan yang meluap kepada Allah. Zikir mereka kepada Allah menjadi-jadi. Sampai-sampai, seolah Allah sendirilah yang mengatasi perang itu. Kuda-kuda yang mereka tunggangi, serta diri mereka, seolah hanyalah alat Kehendak Yang Mahatinggi. Karena itulah perang berakhir dengan kemenangan be¬sar bagi kaum yang menjalaninya atas nama Allah itu.

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang me¬lempar 
(Q.S. al-Anfâl [8]: 17).

Seseorang bisa memancarkan kekuatan yang besar ketika bekerja kalau sambil mengharapkan dari Allah tekad, kesungguhan, taufik, dan keberhasilan. Setiap kali Rasulullah menghadapi musuh-musuhnya, beliau selalu memegang semangat ini seraya memohon pertolongan Allah semata. Beliau berdoa, “Ya Allah, dengan-Mu aku menyerang, dengan-Mu aku berlindung, dan dengan-Mu aku berperang. Ya Allah, sesungguh¬nya kami menjadikan-Mu penolong ketika kami me¬merangi mereka, dan kami berlindung dengan-Mu dari kekejian mereka” (H.R. Abû Dâwud).

Jika seseorang merasa bangga dengan kekuatan, perleng¬kapan, dan persiapannya, lalu lupa kepada Allah, tempat kembali segala perkara dan pengendali kehidupan, maka hasil usahanya akan mengagetkannya karena tiada sesuai dengan harapan.

Dalam Perang Hunayn, kaum muslim merasa tenang ka¬rena besarnya jumlah mereka. Mereka berkata, “Hari ini kita tak akan kalah karena jumlah kita banyak.” Mereka yakin bahwa merekalah pasukan perang yang kuat dan siap menerjang musuh. Kepercayaan diri ini telah melunturkan kepercayaan kepada langit. Mereka mengharapkan kemenangan hanya dari diri me¬reka sendiri. Ada perbedaan sangat mencolok antara sikap kaum muslim kali ini dan sikap mereka ketika Perang Badar. Apa hasil yang mereka rasakan kali ini?

Dan (ingatlah) Perang Hunayn, yaitu sewaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai (Q.S. al-Tawbah [9]: 25).

Itulah akibat tertipu dengan nafsu dan melupakan Allah. Akibat ini pernah dirasakan pahitnya oleh kaum muslim di atas bukit Uhud.

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badar). Kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” (Q.S. Âl ‘Imrân [3]: 165).

Percaya diri berlebihan, betapa pun segala perlengkap¬an telah dipersiapkan dan segala persyaratan telah sempurna dipenuhi, tidak akan membukakan pintu kebaikan. Kegagalan akan dipetik oleh usaha dan pemikiran manusia ketika Allah menghendaki kegagalan baginya.

Sudah seharusnya kita senantiasa memohon pertolongan Allah dalam segala urusan. Tanpa pertolongan-Nya sesuatu tidak akan baik terwujud. Dan arti dari “mencari sesuatu dengan pertolongan Allah”, ada¬lah memadukan syarat utama (pertolongan Allah) dengan usa¬ha-usaha dan syarat-syarat yang kita miliki. Itu tidak berarti kita boleh malas dan lalai, sebab malas dan lalai tidak sesuai dengan kehendak Allah. Bahkan, keduanya adalah bentuk kemak¬siatan kepada-Nya, dan penyimpangan atas sunatullah. []

Sumber: Syekh Muhammad al-Ghazali

Introspeksi Diri

Bila engkau sakit hati karena orang-orang tidak menerimamu, ataupun mencelamu, maka kem¬balikanlah kepada ilmu Allah tentang dirimu. Jika engkau belum puas dengan ilmu-Nya, maka musibah yang menimpamu karena tidak puas dengan ilmu-Nya, lebih besar dari musibah yang menimpamu karena celaan orang-orang

Hubungan seorang mukmin dengan Allah menjadi pangkal ketenangan maupun ketegangan dirinya, suka maupun dukanya. Sedangkan hubungannya dengan sesama manusia menempati urutan berikutnya dan tergantung kepada dorongan-dorongan hubungan yang pertama.

Pendapat manusia tentang suatu perkara tidak memastikan salah atau benarnya perkara itu. Pendapat mereka tentang seseorang juga tidak menentukan tinggi rendahnya orang itu. Opini publik kerap kali memunculkan desas-desus yang perlu diklarifikasi dan dicek kebenarannya. Sedikit sekali isu yang diliputi kejujuran dan kebenaran. Dalam situasi kritis yang memerlukan keberanian dan kepahlawanan, sangat sulit mencari orang-orang yang bisa jujur dan benar.

Ketika dijauhi dan dicela orang-orang, kaum saleh langsung mengingat ayat:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَن يَضِلُّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguh¬nya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih tahu tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. al-An‘âm [6]: 116-117).

Motif gerak seorang mukmin berasal dari hati nurani, dan tujuannya mencapai rida Allah semata. Ia tak am¬bil pusing apakah orang-orang menjauhi dan mencelanya, atau mendekati dan memujinya.
Walaupun kita sangat terikat dengan masyarakat di mana kita tinggal, mau tidak mau, suka tidak suka, kita mesti tetap tegar dalam pendirian di tengah pujian atau celaan yang diarah¬kan kepada kita.

Adalah hak seseorang untuk tidak membiarkan keutamaannya berubah menjadi kehinaannya, ketika dia tidak memperoleh peng¬hargaan semestinya. Adalah hak seseorang untuk membela diri dari komentar jelek yang diarahkan kepadanya, dari tuduhan orang-orang yang ingin meruntuhkan harga dirinya. Adalah haknya juga, ketika dia menjadi sumber isu, untuk menjaga pamor dirinya agar tidak redup, dan untuk menjadikan dirinya sebagai teladan yang baik.

Oleh karena itu, hubungan seseorang dengan sesamanya harus dijelaskan dengan agak detail. Sesungguhnya menampakkan kebaikan di tengah manusia, dan terang-terangan menjalankan kewajiban dan syiar agama, adalah tidak mengapa.

إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekah-(mu), maka itu adalah baik se¬kali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan ke¬pada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu (Q.S. al-Baqarah [2]: 271).

Usaha seseorang untuk menjaga nama baiknya agar tidak tercemar adalah sesuatu yang wajar. Nabi saw. sendiri pernah menyuruh berhenti beberapa orang yang melihat beliau berjalan bersama seorang perempuan. Lalu, beliau menerang¬kan kepada mereka bahwa beliau sedang berjalan bersama salah seorang istrinya. Ini beliau lakukan agar mereka tidak menuduhnya telah berbuat macam-macam, walaupun beliau seorang yang tidak pantas dituduh.

Jika seorang mukmin merasa bahagia karena terkenal seba¬gai pelaku kebaikan, itu wajar. Asal, perbuatan-per¬buatan baik itu dia lakukan dengan niat ikhlas dan hati yang tulus. Para sahabat pernah bercerita kepada Rasulullah saw. ten¬tang perasaan bahagia yang merasuki diri mereka ketika orang-orang memuji mereka atas amal baik yang mereka kerjakan karena Allah. Rasulullah bersabda, “Itu kabar gembira bagi orang mukmin di dunia” (H.R. Muslim). Kemudian be¬liau membaca ayat:

الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (Q.S. Yûnus [10]: 63-64).

Memperoleh kemuliaan dan kedudukan di dunia adalah bagian dari rahmat Allah. Oleh sebab itu, Allah memberi¬kannya kepada nabi-Nya, Muhammad saw., sehingga berfirman,

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu” (Q.S. al-Insyirah [94]: 4)

Nabi Ibrâhîm pun memohon kepada Tuhan agar mengabadi¬kan pujian baginya sepanjang zaman. Nabi Ibrahim berdoa :

رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
وَاجْعَل لِّي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الآخِرِينَ
‘Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang da¬tang) kemudian (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 83-84).

Yang penting, seseorang dalam beramal harus didasari ke¬ikhlasan karena Allah semata, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi atau popularitas. Ke¬cintaannya kepada Allah haruslah mengalahkan dorongan-dorongan lainnya. Jika orang-orang memusuhinya, dia bisa tetap tegar berjalan me¬nuju Tuhan tanpa rasa takut dan tak akan menyerah. Jika dia senang berhubungan dengan sesama, hendaknya itu dalam kerangka kerjasama dalam kebenaran, bukan untuk meraih maksud-maksud duniawi, mengumbar hawa nafsu, atau mengejar kepuasan-kepuasan sesaat.

Jika seseorang merasa orang-orang di sekitarnya ber¬paling darinya atau menjauhinya, maka perhatikanlah bagaimana hubungannya dengan Allah? Jika dirinya puas dengan hubungan itu, bahagia dengan ikatannya, tentulah dia tidak hiraukan ketidakpedulian orang-orang. Apalah arti¬nya kebencian hamba dibanding dengan kerelaan Tuhan! Re¬nungkan ucapan Hûd kepada kaumnya:

Hûd menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah ka¬mu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya sepenuhnya)” (Q.S. Hûd [11]: 54-56).

Sebaliknya, jika hubungannya dengan Allah rapuh, tentu musibah sejati yang dia rasakan adalah karena keretakan hubungannya dengan Allah itu, bukan karena keretakan hubungannya dengan sesama.[]


Sumber: Syekh Muhammad al-Ghazali






Pengantar Redaksi Buku “MENGAJI AL-HIKAM”


Jika “al-Hikam” disebut, barangkali yang pertama tebersit dalam benak Anda adalahal-Hikam Ibnu Athaillah. Karya itu memang memukau: kedalaman makrifat yang memikat dalam untaian mutiara kata-kata yang memesona. Maka, wajar, jika ia sangat tenar.
Namun, tahukah Anda, sebelum al-Hikam Ibnu Athaillah itu ditulis, bahkan jauh sebelum penulisnya lahir, telah ada karya al-Hikam lain, yaitu al-Hikam al-Ghautsiyyahyang ditulis Abu Madyan Syu‘aib ibn al-Husain al-Anshari (Abu Madyan lahir pada 520 H dan meninggal pada 594 H. Sementara—tidak ada catatan yang tegas—Ibnu Athaillah diperkirakan lahir pada antara 658 H dan 679 H. Jadi, lebih dari enam puluh tahun setelah kepergian Abu Madyan, baru lahirlah Ibnu Athaillah).
Kini, al-Hikam al-Ghautsiyyah telah berusia lebih dari delapan ratus tahun, dan dengan bangga kami menghadirkannya untuk Anda. Bila buku demikian bermutu, tak ada yang lama ataupun yang baru; yang ada, Anda belum tahu ….
Siapa Abu Madyan? Abu Madyan lahir di Cantillana—kota kecil berjarak sekitar tiga puluh dua kilometer dari Sevilla (Spanyol)—sebagai yatim. Sejak muda, ia telah tertarik dengan kajian Al-Quran dan tasawuf. Ia pun pergi ke Fes di Afrika Utara untuk berguru. Ia menemui Syekh Abu al-Hasan ibn Harzahim untuk mendalami Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali, menemui Abu al-Hasan Ali ibn Ghalib untuk mendalamial-Sunan karya Imam al-Tirmidzi, menemui Abu Abdillah al-Daqqaq dan Abu al-Hasan al-Salawi untuk mendalami tasawuf, dan guru-guru lainnya. Dari al-Daqqaq, Abu Madyan mendapatkan khirqah: jubah sufi sebagai simbol bahwa seseorang telah lulus dan diterima sebagai salik atau penempuh jalan ruhani. Pada perjalanan hidup selanjutnya, Abu Madyan menjadi salah satu sufi Andalusia  paling berpengaruh, melahirkan banyak murid yang lalu menjadi syekh, sehingga Abu Madyan dijulukiSyaikh al-Syuyûkh (mahaguru).
Dan, al-Hikam al-Ghautsiyah karyanya adalah di antara yang terpenting dalam kajian tasawuf. Paling tidak ada tiga karya yang mengulas (atau yang disebut dengan karyasyarh, ulasan): al-Bayân wal Mazîd al-Musytamil ‘alâ Ma‘âni al-Tanzîh wa Haqâ’iq al-Tawhîd karya Syekh Baisyan, al-Mawâd al-Ghaytsiyyah Syarh al-Hikam al-Ghautsiyyahkarya Syekh al-Alawi, dan terakhir adalah yang terjemahannya sekarang ada di tangan Anda, Syarh al-Hikam al-Ghautsiyyah karya Syekh al-Imam al-‘Allamah Syihabuddin Ahmad ibn Ibrahim al-Makki yang dikenal dengan Ibn ‘Ilan al-Shiddiq al-Syafi‘i (w. 1033 H). Di antara buku-buku ulasan lainnya, buku ini yang paling singkat tapi padat. Selain itu, Ibn ‘Ilan menjadikan al-Hikam al-Ghautsiyah berbobot. Ia kutip ayat Kitab Suci dan hadis Nabi untuk hikmah-hikmah terkait, membuatnya memiliki dasar yang kuat; tidak untuk mencari pembenaran, tapi untuk menguatkan kebenaran. Ibn ‘Ilan sendiri seorang tokoh sufi terkemuka pada masanya dan ulama yang produktif menulis, terutama tema tasawuf.
Kami merasa beruntung mendapatkan naskah Syarh al-Hikam al-Ghautsiyah yang telah ditelaah. Penelaahnya, Ahmad Farid al-Mazidi, meneliti kitab tersebut secara saksama: menyebutkan nama surah dan ayat Al-Quran, menakhrij (menyebut sumber riwayat) hadis-hadis, menjelaskan kata dan kalimat yang kurang dikenal artinya, memperkaya tema dengan kutipan-kutipan dari para ulama …. Semua itu membuat kami percaya diri mempersembahkan buku ini kepada Anda. Selamat menikmati. Selamat meniti hati untuk perubahan diri.
Salam takzim,
Juman Rofarif

Selasa, 16 Agustus 2011

10 RESEP PENCUCI DOSA DAN OBAT PENYAKIT HATI

Hasan Basri RA berkata : Pada suatu hari aku mengelilingi lorong kota Bashrah dan pasarnya bersama seorang pemuda ahli ibadah.  Ditengah perjalanan aku bertemu seorang tabib.  Dia duduk di kursi yang di hadapanya banyak orang baik laki-laki maupun wanita serta anak anak, yang membawa botol berisikan air.  Setiap seorang dari mereka bermaksud meminta obat yang tepat bagi penyakit yang mereka derita.
Selanjutnya majulah pemuda yang ahli ibadah itu kepada tabib tersebut, lalu berkata: "Wahai tabib, apakah engkau mempunyai obat yang dapat membersihkan dosa dan mengobati penyakit hati?"
Tabib tadi menjawab " Punya"
Pemuda itu berkata lagi " Tolong berilah aku obat tersebut."
Tabib menjawab " Ambilah sepuluh resep dariku berikut ini :
  1. Ambilah akar pohon kefakiran dan akar pohon ke tawadhu'an.
  2. Masukan akar tobat ke dalamnya.
  3. Masukkanlah ketiga unsur itu ke dalam lesung ridha.
  4. Tumbuklah sampai halus dengan tumbuk qana'ah
  5. Masukan semua itu dalam panci taqwa.
  6. Tuangkan air malu ke dalamnya.
  7. Didihkan semua itu dengan api mahabbah.
  8. selanjutnya, tuangkan semua itu ke dalam mangkuk syukur
  9. Dinginkan apa yang ada di dalam mangkuk syukur itu dengan kipas raja'
  10. Minumlah semua itu dengan sendok pujian.
 Jika engkau dapat melaksanakanya, maka semua itu akan menyelamatkan dirimu dari berbagai jenis penyakit dan musibah di dunia dan akhirat."

Kefakiran dan ketawadhu'an diibaratkan dengan sebuah pohon, sebab keduanya merupakan sesuatu yang tinggi nilainya di sisi Alloh SWT.  Adapun akar berfungsi sebagai faktor hidupnya sebuah pohon.  Maknanya adalah carilah faktor-faktor yang bisa menjadikan seseorang mampu menerima kefakiran secara ridha dan mampu bersikap tawadhu.
Ibnu Athaillah berkata " Tawadhu' akan menjadikan seseorang mudah menerima kebenaran."
Ibnu 'Abbas berkata " Termasuk kategori tawadhu' adalah seorang mau minum dari sisa air minum saudaranya."
Al Qusyairi berkata "kefakiran adalah simbolnya auliya'(para wali), permatanya ashfiya'(orang orang yang berhati bersih), dan merupakan sesuatu yang Alloh pilihkan untuk hamba-hamba pilihan-Nya dari atqiya' (mereka yang bertakwa) dan anbiya'(para nabi).
Abu 'Abdullah Al Quraisyi berkata "Hakikat mahabbah (rasa cinta) adalah memberikan semua yang engkau miliki kepada pihak yang engkau cintai hingga tidak bersisa sedikit pun."

Raja' (penuh harap) adalah senang dengan adanya karunia alloh.  Ada pula yang mengatakan bahwa raja' adalah meyakini luasnya rahmat Alloh.

Disunting dari "NASHAIHUL IBAD" karya  Imam Nawawi Al Bantani .

MEMAKNAI SABAR



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS Ali 'Imran [3]:200)


Dalam firman ini, ada suatu sikap dan perilaku yang istimewa dalam pandangan Allah SWT. Sifat tersebut adalah sabar.
Jaminan Allah SWT terhadap orang yang bersabar adalah akan dicukupkan pahala mereka dalam jumlah yang tak terbilang, sebagaimana firman-Nya, 

قُلْ يعِبَادِ الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُواْ فِي هَـذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

''SKatakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
'' (QS Az-Zumar [39]:10).

Syekh Salim Al-Hilali, pensyarah kitab Riyadhush Shalihinkarya Imam Nawawi, memaknai sabar dengan suatu sikap yang mampu mengendalikan diri dalam berbuat taat kepada Allah. Dari sini, akan sempurnalah kesabaran seseorang ketika memenuhi tiga unsur. Pertama adalah sabar dalam ketaatan. Dalam menjalani perintah-Nya, diperlukan pengabdian dan perjuangan yang luar biasa. Tuntutan dari sana sini mengharuskan kita istiqamah dan sabar untuk menjalaninya.
Unsur kedua adalah kesabaran dalam menghadapi kemaksiatan. Pendeknya, seorang Muslim dituntut menjauhi dan meninggalkan larangan dan kemaksiatan. Oleh karenanya Allah berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

 ''Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan mengujimu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.'' (QS Muhamad [47]:31).
Ketiga adalah kesabaran dalam mendapati musibah. Ketetapan dan takdir Allah kepada hambanya tentu berbeda. Termasuk di dalamnya ujian dari Allah dalam kesengsaraan ataupun sesuatu yang ditakutkan serta tidak di inginkan. Ketika kita menghadapi hal tersebut, kita bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT tanpa keluh kesah, karena berprinsip semuanya datang dari Allah, dan Allah akan memberikan kepada hambanya dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.

K.H. Abdullah Salam Kajen Pati

MBAH DULLAH
Dari Notes Simbah Kakung (KH MUSTOFA BISRI) di Facebook


Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya'ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

MBAH DULLAH

Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun!Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.

SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!

Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.

Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.

Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak  lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.

Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.

Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama,  yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.

Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang,  memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.

Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk  kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.

Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? 

Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang  hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun  melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).

Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau. 

Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.

Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kokdikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana  dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. 
Memang hanya hamba yang fakir  ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang  sebenar-benar kaya.

Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan  menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.

Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.

Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambilyang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.

Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.

Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.

Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana  dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.

Waba’du; sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst.  Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!

Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin--  melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.

Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan  kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.

Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam  golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”

Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun!     

KH. ALI MAKSUM

KH. Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem, kota tua di Jawa Tengah dari keluarga ulama keturunan Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren yang tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Masa muda beliau habiskan dengan berguru dari pesantren ke pesantren. Dimulai dari ayahnya sendiri yang juga seorang kyai ulama besar, beliau kemudian nyantri kepada Kyai Amir Pekalongan untuk kemudian melanjutkan kepada Kyai Dimyati Tremas Pacitan Jawa Timur. Sejak di Termas inilah beliau terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus madrasah pesantren dan membuat karangan tulisan.

Tak lama setelah diambil menantu oleh KHM Munawwir al Hafidh al Muqri Krapyak Yogyakarta, beliau dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta untuk dapat berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau pergunakan pula untuk melanjutkan mengaji tabarrukan kepada para ulama Mekah: Sayyid Alwi al Maliki Al Hasni, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan sebagainya.
Setelah dua tahun mengaji di Mekah Kyai Ali kembali ke tanah Jawa. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal Kyai Munawwir Krapyak, Pondok Krapyak memerlukan beliau untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama-sama dengan KHR. Abdullah Affandi Munawwir dan KHR. Abdul Qadir Munawwir.
Akhirnya beliau menghabiskan umur dan segenap daya upaya beliau untuk merawat dan mengembangkan Pondok Krapyak, yang pada saat diasuh mendiang Kyai Munawwir merupakan cikal bakal pesantren al Qur’an di Indonesia.
Di bidang pendidikan pesantren, beliau merintis pola semi moderen dengan sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Beliau juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di bidang kemasyarakatan dan politik, beliau pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rejim Orde Lama. Dalam organisasi para kyai, Nahdlatul Ulama, beliau pernah memangku jabatan Rais ‘Aam Syuriyyah yang mengantarkan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru.
Di sela-sela mengasuh seribuan santrinya, beliau menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di masyarakat, mengawasi sendiri pembangunan gedung-gedung pondok dan menulis kitab-kitab. Hujjah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Tasrif ul Kalimah fis Shorf, Ilmu Mantiq, adalah beberapa dari kitab berbahasa Arab susunan beliau.
Sebelum meninggal pada akhir 1989, dari sentuhan tangan beliau telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Dari keteguhan beliau, Pondok Krapyak beberapa hari sebelum beliau meninggal menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.
Dari kesabaran beliau yang selama hidup dibantu oleh istrinya Nyai Hasyimah Munawwir, telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzil Qur’an dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa.
Pondok Pesantren Krapyak, setelah kemangkatan beliau tahun 1989, pengelolaannya ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Yayasan ini sekarang dipimpin oleh KH Attabik Ali yang merupakan putra pertama dari KH Ali Maksum.

Selasa, 10 Mei 2011

حزب البحر

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

يَا عَلِيُّ يَا عَظِيْمُ يَا حَلِيْمُ يَا عَلِيْمُ أَنْتَ رَبِّي وَعِلْمُكَ فَنِعْمَ الرَّبُّ رَبِّي وَنِعْمَ الْحَسْبُ حَسْبِي تَنْصُرُ مَنْ تَشَاءُ وَأَنْتَ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ. نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِي الْحَرَکَاتِ وَالسَّکَنَاتِ وَالْکَلِمَاتِ وَالإِرَادَاتِ وَالْخَطَرَاتِ ، مِنَ الشُّکُوكِ وَالظُّنُونِ وَالأَوْهَامِ السَّاتِرَةِ لِلْقُلُوبِ عَنْ مُطَالَعَةِ الْغُيُوبِ ،

)فَقَدِ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيدًا وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلاَّ غُرُورًا( فَثَبِّتْنَا وَانْصُرْنَا وَسَخِّرْلَنَا (هَذَا الْبَحْرَ) ...... كَمَا سَخَّرْتَ الْبَحْرَ لِمُوسَى وَسَخَّرْتَ النَّارَ ِلإِبْرَاهِيمَ , وَسَخَّرْتَ الْجِبَالَ وَالْحَدِيدَ لِدَاوُدَ , وَسَخَّرْتَ الْجِنَّ وَالشَّيَاطِيْنَ لِسُلَيْمَانَ وَسَخِّرْلَنَا (كُلَّ بَحْرٍ) هُوَ لَكَ فِي الأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَالْمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَبَحْرَ الدُّنْيَا وَبَحْرَ الآخِرَة ,

وَسَخِّر لَنَا (كُلَّ شَيْءٍ) يَا مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ  )كهيعص( (3 كالي)

اُنْصُرْنَا فَإِنَّك خَيْرُ النَّاصِرِينَ , وَافْتَحْ لَنَا فَإِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ , وَاغْفِرْ لَنَا فَإِنَّكَ خَيْرُ الغَافِرِينَ , وَارْحَمْنَا فَإِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ , وَارْزُقْنَا فَإِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ , وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ , وَهَبْ لَنَا رِيْحًا طَيِّبةً كَمَا هِيَ فِي عِلْمِكَ , وَانْشُرْهَا عَلَيْنَا مِنْ خَزَائِنِ رَحْمَتِكَ , وَاحْمِلْنَا بِهَا حَمْلَ الْكَرَامَةِ مَعَ السَّلاَمَةِ وَالْعَافِيَةِ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

اللَّهُمَّ يَسِّرْ لَنَا أُمُورَنَا مَعَ الرَّاحَةِ لِقُلُوبِنَا وَأَبْدَانِنَا وَالسَلاَمَةِ وَالْعَافِيَةِ فِي دِينِنَا وَدُنْيَانَا , وَكُنْ لَنَا فِي سَفَرِنَا , وَخَلِيفَةً فِي أَهْلِنَا , وَاطْمِسْ عَلَى وُجُوهِ أَعْدَائِنَا , وَامْسَخْهُم عَلَى مَكَانَتِهِمْ فَلاَ يَسْتَطِيعُوْنَ الْمُضِيَّ وَلاَ الْمَجِيءَ إِلَيْنَا .

)وَلَوْ نَشَاءُ لَطَمَسْنَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَأَنَّى يُبْصِرُونَ وَلَوْ نَشَاءُ لَمَسَخْنَاهُمْ عَلَى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوا مُضِيًّا وَلاَ يَرْجِعُونَ(

)يس , وَالْقُرْءَانِ الْحَكِيمِ , إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ , عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ , تَنْزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ , لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ ءَابَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ , لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ , إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلاَلاً فَهِيَ إِلَى الأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ , وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُون (

شَاهَتِ الْوُجُوهُ (3 كالي)

)وَعَنَتِ الْوُجُوْهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا( , ) طس(  ,  )حم عسق( ،

)مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لاَ يَبْغِيَانِ(

)حم( (7 كالي) حُمَّ الأَمْرُ وَجَاءَ النَّصْرُ فَعَلَيْنَا لاَ يُنْصَرُونَ .

)حم , تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ , غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ(

بِسْمِ اللهِ بَابُنَا , تَبَارَكَ حِيطَانُنَا , يس سَقْفُنَا , كهيعص كِفَايَتُنَا , حم عسق حِمَايَتُنَا, )فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ( (3 كالي)

سِتْرُ الْعَرْشِ مَسْبُولٌ عَلَيْنَا وَعَيْنُ اللهِ نَاظِرَةٌ إِلَيْنَا بِحَوْلِ اللهِ لاَ يُقْدَرُ عَلَيْنَا

)وَاللَّهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُحِيطٌ , بَلْ هُوَ قُرْءَانٌ مَجِيدٌ , فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ(

)فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ( (3 كالي)

)إِنَّ وَلِيِّيَ اللهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلىَّ الصَّالِحِيْنَ( (3 كالي)

)حَسْبِيَ اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ( (3 كالي)

وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ (3 كالي)

بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم (3 كالي)

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ (3 كالي)

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم

سورة الأحزاب الأية 11,12
سورة مريم الأية 1
سورة يس الأية 66,67
سورة يس الأية 1-9
سورة طه الأية 111
سورة النمل الأية 1
سورة الشورى الأية 1
سورة الرحمن الأية 19
سورة غافر الأية 1
سورة غافر الأية 1-3
سورة البقرة الأية 137
سورة البروج الأية 20-22
سورة يوسف الأية 64
سورة الأعراف الأية 196
سورة التوبة الأية129