Selasa, 13 September 2011

Hakikat Ubudiah

Jika engkau berkeyakinan bahwa engkau sam¬pai kepada-Nya hanya setelah lenyapnya semua keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, maka engkau selamanya tidak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaik.
Banyak sekali dalil agama yang menunjukkan bahwa amal saleh adalah jalan ke surga, sedang amal buruk adalah ja¬lan ke neraka. Allah telah menjanjikan surga naim bagi kaum mukmin dan mengancam orang-orang durhaka dengan neraka jahim. Allah menolak mempersamakan dua kelompok itu dalam balasan, se¬bab itu tidaklah adil.

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan
? (Q.S. al-Qalam [68]: 34-36).

Allah memberitakan bahwa nikmat yang dirasakan oleh ahli iman yang beramal saleh itu kekal, tidak berubah.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan. Kekal mereka di dalamnya, sebagai janji Allah yang benar 
(Q.S. Luq¬mân [31]: 8-9).

Dia memberitakan bahwa orang-orang fasik dan kafir mesti merasakan azab yang menyakitkan.

Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesem¬bahan yang lain beserta Allah. Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat. Yang menyertai dia berkata (pula), “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada di ke¬sesatan yang jauh.” Allah berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberi¬kan ancaman kepadamu.” Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku
 (Q.S. Qâf [50]: 24-29).

Ayat-ayat ini, juga ratusan ayat lainnya, menunjukkan de¬ngan jelas bahwa manusia sendirilah yang menentukan tempat kembalinya. Tangannya sendirilah membuat jalan untuk masa depannya. Takdir Tuhan tidak pernah membawa manusia ke negeri pembalasan dalam keadaan hina.

Yang manusia petik di akhirat adalah hasil dari yang mereka tanam di dunia. Kalau ada yang menyatakan pendapat selain pendapat ini, orang itu kalau tidak bodoh tentang Islam pastilah mengada-ada ajarannya.

Akan tetapi, di antara kesempurnaan amal saleh adalah harus sesuai de¬ngan ketentuan dan tidak melampui batasan-batasannya. Orang yang beranggapan bahwa ibadah beberapa tahun di bumi merupakan tiket memperoleh kekekalan di langit, sebenarnya adalah orang yang gegabah. Orang yang mengira bahwa ketaatan yang dipersembah¬kannya begitu bersih dan sempurna, sebetulnya adalah orang yang tertipu. Orang yang menduga bahwa amal-amal wajib dan sunah yang dilakukannya lebih berat dari nikmat-nikmat yang diterimanya di dunia, sesungguhnya adalah orang yang sedang melucu.

Sebenarnya, Allah melihat niat baik dalam hati orang beriman kemudian memaafkan banyak kesalahan yang mereka lakukan secara tak sengaja, memaafkan segenap keterbatasan mereka, dan memperbanyak amal mereka yang tidak seberapa, sebagaimana memperbanyak hasil panen tanaman petani meski benihnya sedikit. Kalau tidak demikian, maka tak se¬orang pun akan merasakan lezatnya keselamatan.

Dan kalau saja bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya ke¬pada ka¬lian, maka Dia selamanya tidak akan menyucikan seorang pun dari kalian, tetapi Allah menyucikan siapa yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Nûr [24]: 21).

Tertipu oleh ilmu yang dimiliki adalah kehinaan yang menjatuhkan nilai amal. Jika seseorang berpinta kepada Allah agar mendekatkannya kepada-Nya atau memperbanyak ganjaran baginya sebab ia merasa telah mengerahkan usa¬ha yang sungguh-sungguh untuk itu, maka sebenarnya ia tidak berhak mendapat se¬suatu yang istimewa di sisi Allah.

Yang harus dilakukan oleh muslim adalah memper¬sembahkan sesuatu kepada Allah seraya mengakui kekurangan dirinya, meyakini bahwa hak Allah sedikit pun tidak bisa ditebus dengan amal terbaiknya, meyakini bahwa kalau saja Allah tidak menyelamatkannya dengan rahmat-Nya, pastilah ia akan binasa. Betapa pun ia telah menyerahkan jiwa dan harta untuk-Nya, itu belum cukup untuk memperoleh ganjaran. Bukankah Dia ada¬lah Pencipta jiwa dan Pemberi harta itu? Jika kemudian Dia memasukkannya ke dalam surga, bukankah itu karunia dari-Nya?

Lihatlah serentetan amal yang engkau lakukan sepanjang usia¬mu. Amal manakah yang luput dari kecacatan nafsu dan bebas dari kekurangan? Kalau amal-amal itu adalah amal orang lain, lalu diberikan kepadamu, tentu kamu tidak akan menerimanya. Seorang mukmin hakiki hanya beramal, tetapi tidak pernah berharap banyak ataupun mengagung-agungkan amalnya.

Barangkali uraian di atas bisa menafsirkan hadis Nabi yang cukup masyhur, “Tak seorang pun yang akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat berkata, “Tidak juga engkau, wahai Rasu¬lullah?” Nabi menjawab, “Tidak juga aku, kecuali kalau Allah meliputiku dengan rahmat-Nya.” (H.R. al-Bukhârî).

Anehnya, banyak orang memahami larangan berbangga diri sebagai pengguguran nilai amal secara keseluruhan. Sehingga, muncul di benak mereka pemahaman seperti ini; amal tidak me¬masukan pelakunya ke surga, maka tak perlu kita memerhatikan amal ataupun mengerahkan kesungguhan untuk ber¬amal! Mereka memutuskan bahwa amal saleh bu¬kan jalan menuju surga dan surga adalah pemberian Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya, walau orang itu tidak beramal sama sekali. Bahkan, beberapa ahli kalam yang bodoh beranggapan bahwa orang-orang jahat bisa masuk surga dan orang-orang baik masuk neraka.

Itu adalah pemikiran yang mengada-ada, mendustakan Allah dan Rasul-Nya.

Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab ne¬raka Jahanam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Q.S. al-Zukhruf [43]: 72-76).

Sumber: Syekh Muhammad al-Ghazali

Percayakan kepada Tuhan!

Pinta tak akan tertolak selama engkau memohon kepada Tuhan. Namun, pinta tak akan terkabulkan selama engkau mengandalkan dirimu sendiri.
Ketika kaum muslim bertempur dalam Perang Ba¬dar, mereka sadar bahwa perang adalah kewajiban sekalipun peralatan dan persenjataan perang mereka sangatlah tidak memadai. Kepercayaan mereka kepada Allah menjadi amat ting¬gi, dan keyakinan mereka akan pertolongan-Nya amat besar.

Kepercayaan mereka akan diri mereka sendiri sangat kecil bahkan lenyap digantikan oleh kepercayaan yang meluap kepada Allah. Zikir mereka kepada Allah menjadi-jadi. Sampai-sampai, seolah Allah sendirilah yang mengatasi perang itu. Kuda-kuda yang mereka tunggangi, serta diri mereka, seolah hanyalah alat Kehendak Yang Mahatinggi. Karena itulah perang berakhir dengan kemenangan be¬sar bagi kaum yang menjalaninya atas nama Allah itu.

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang me¬lempar 
(Q.S. al-Anfâl [8]: 17).

Seseorang bisa memancarkan kekuatan yang besar ketika bekerja kalau sambil mengharapkan dari Allah tekad, kesungguhan, taufik, dan keberhasilan. Setiap kali Rasulullah menghadapi musuh-musuhnya, beliau selalu memegang semangat ini seraya memohon pertolongan Allah semata. Beliau berdoa, “Ya Allah, dengan-Mu aku menyerang, dengan-Mu aku berlindung, dan dengan-Mu aku berperang. Ya Allah, sesungguh¬nya kami menjadikan-Mu penolong ketika kami me¬merangi mereka, dan kami berlindung dengan-Mu dari kekejian mereka” (H.R. Abû Dâwud).

Jika seseorang merasa bangga dengan kekuatan, perleng¬kapan, dan persiapannya, lalu lupa kepada Allah, tempat kembali segala perkara dan pengendali kehidupan, maka hasil usahanya akan mengagetkannya karena tiada sesuai dengan harapan.

Dalam Perang Hunayn, kaum muslim merasa tenang ka¬rena besarnya jumlah mereka. Mereka berkata, “Hari ini kita tak akan kalah karena jumlah kita banyak.” Mereka yakin bahwa merekalah pasukan perang yang kuat dan siap menerjang musuh. Kepercayaan diri ini telah melunturkan kepercayaan kepada langit. Mereka mengharapkan kemenangan hanya dari diri me¬reka sendiri. Ada perbedaan sangat mencolok antara sikap kaum muslim kali ini dan sikap mereka ketika Perang Badar. Apa hasil yang mereka rasakan kali ini?

Dan (ingatlah) Perang Hunayn, yaitu sewaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai (Q.S. al-Tawbah [9]: 25).

Itulah akibat tertipu dengan nafsu dan melupakan Allah. Akibat ini pernah dirasakan pahitnya oleh kaum muslim di atas bukit Uhud.

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada Perang Badar). Kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” (Q.S. Âl ‘Imrân [3]: 165).

Percaya diri berlebihan, betapa pun segala perlengkap¬an telah dipersiapkan dan segala persyaratan telah sempurna dipenuhi, tidak akan membukakan pintu kebaikan. Kegagalan akan dipetik oleh usaha dan pemikiran manusia ketika Allah menghendaki kegagalan baginya.

Sudah seharusnya kita senantiasa memohon pertolongan Allah dalam segala urusan. Tanpa pertolongan-Nya sesuatu tidak akan baik terwujud. Dan arti dari “mencari sesuatu dengan pertolongan Allah”, ada¬lah memadukan syarat utama (pertolongan Allah) dengan usa¬ha-usaha dan syarat-syarat yang kita miliki. Itu tidak berarti kita boleh malas dan lalai, sebab malas dan lalai tidak sesuai dengan kehendak Allah. Bahkan, keduanya adalah bentuk kemak¬siatan kepada-Nya, dan penyimpangan atas sunatullah. []

Sumber: Syekh Muhammad al-Ghazali

Introspeksi Diri

Bila engkau sakit hati karena orang-orang tidak menerimamu, ataupun mencelamu, maka kem¬balikanlah kepada ilmu Allah tentang dirimu. Jika engkau belum puas dengan ilmu-Nya, maka musibah yang menimpamu karena tidak puas dengan ilmu-Nya, lebih besar dari musibah yang menimpamu karena celaan orang-orang

Hubungan seorang mukmin dengan Allah menjadi pangkal ketenangan maupun ketegangan dirinya, suka maupun dukanya. Sedangkan hubungannya dengan sesama manusia menempati urutan berikutnya dan tergantung kepada dorongan-dorongan hubungan yang pertama.

Pendapat manusia tentang suatu perkara tidak memastikan salah atau benarnya perkara itu. Pendapat mereka tentang seseorang juga tidak menentukan tinggi rendahnya orang itu. Opini publik kerap kali memunculkan desas-desus yang perlu diklarifikasi dan dicek kebenarannya. Sedikit sekali isu yang diliputi kejujuran dan kebenaran. Dalam situasi kritis yang memerlukan keberanian dan kepahlawanan, sangat sulit mencari orang-orang yang bisa jujur dan benar.

Ketika dijauhi dan dicela orang-orang, kaum saleh langsung mengingat ayat:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَن يَضِلُّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguh¬nya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih tahu tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. al-An‘âm [6]: 116-117).

Motif gerak seorang mukmin berasal dari hati nurani, dan tujuannya mencapai rida Allah semata. Ia tak am¬bil pusing apakah orang-orang menjauhi dan mencelanya, atau mendekati dan memujinya.
Walaupun kita sangat terikat dengan masyarakat di mana kita tinggal, mau tidak mau, suka tidak suka, kita mesti tetap tegar dalam pendirian di tengah pujian atau celaan yang diarah¬kan kepada kita.

Adalah hak seseorang untuk tidak membiarkan keutamaannya berubah menjadi kehinaannya, ketika dia tidak memperoleh peng¬hargaan semestinya. Adalah hak seseorang untuk membela diri dari komentar jelek yang diarahkan kepadanya, dari tuduhan orang-orang yang ingin meruntuhkan harga dirinya. Adalah haknya juga, ketika dia menjadi sumber isu, untuk menjaga pamor dirinya agar tidak redup, dan untuk menjadikan dirinya sebagai teladan yang baik.

Oleh karena itu, hubungan seseorang dengan sesamanya harus dijelaskan dengan agak detail. Sesungguhnya menampakkan kebaikan di tengah manusia, dan terang-terangan menjalankan kewajiban dan syiar agama, adalah tidak mengapa.

إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekah-(mu), maka itu adalah baik se¬kali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan ke¬pada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu (Q.S. al-Baqarah [2]: 271).

Usaha seseorang untuk menjaga nama baiknya agar tidak tercemar adalah sesuatu yang wajar. Nabi saw. sendiri pernah menyuruh berhenti beberapa orang yang melihat beliau berjalan bersama seorang perempuan. Lalu, beliau menerang¬kan kepada mereka bahwa beliau sedang berjalan bersama salah seorang istrinya. Ini beliau lakukan agar mereka tidak menuduhnya telah berbuat macam-macam, walaupun beliau seorang yang tidak pantas dituduh.

Jika seorang mukmin merasa bahagia karena terkenal seba¬gai pelaku kebaikan, itu wajar. Asal, perbuatan-per¬buatan baik itu dia lakukan dengan niat ikhlas dan hati yang tulus. Para sahabat pernah bercerita kepada Rasulullah saw. ten¬tang perasaan bahagia yang merasuki diri mereka ketika orang-orang memuji mereka atas amal baik yang mereka kerjakan karena Allah. Rasulullah bersabda, “Itu kabar gembira bagi orang mukmin di dunia” (H.R. Muslim). Kemudian be¬liau membaca ayat:

الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (Q.S. Yûnus [10]: 63-64).

Memperoleh kemuliaan dan kedudukan di dunia adalah bagian dari rahmat Allah. Oleh sebab itu, Allah memberi¬kannya kepada nabi-Nya, Muhammad saw., sehingga berfirman,

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu” (Q.S. al-Insyirah [94]: 4)

Nabi Ibrâhîm pun memohon kepada Tuhan agar mengabadi¬kan pujian baginya sepanjang zaman. Nabi Ibrahim berdoa :

رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
وَاجْعَل لِّي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الآخِرِينَ
‘Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang da¬tang) kemudian (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 83-84).

Yang penting, seseorang dalam beramal harus didasari ke¬ikhlasan karena Allah semata, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi atau popularitas. Ke¬cintaannya kepada Allah haruslah mengalahkan dorongan-dorongan lainnya. Jika orang-orang memusuhinya, dia bisa tetap tegar berjalan me¬nuju Tuhan tanpa rasa takut dan tak akan menyerah. Jika dia senang berhubungan dengan sesama, hendaknya itu dalam kerangka kerjasama dalam kebenaran, bukan untuk meraih maksud-maksud duniawi, mengumbar hawa nafsu, atau mengejar kepuasan-kepuasan sesaat.

Jika seseorang merasa orang-orang di sekitarnya ber¬paling darinya atau menjauhinya, maka perhatikanlah bagaimana hubungannya dengan Allah? Jika dirinya puas dengan hubungan itu, bahagia dengan ikatannya, tentulah dia tidak hiraukan ketidakpedulian orang-orang. Apalah arti¬nya kebencian hamba dibanding dengan kerelaan Tuhan! Re¬nungkan ucapan Hûd kepada kaumnya:

Hûd menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah ka¬mu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya sepenuhnya)” (Q.S. Hûd [11]: 54-56).

Sebaliknya, jika hubungannya dengan Allah rapuh, tentu musibah sejati yang dia rasakan adalah karena keretakan hubungannya dengan Allah itu, bukan karena keretakan hubungannya dengan sesama.[]


Sumber: Syekh Muhammad al-Ghazali






Pengantar Redaksi Buku “MENGAJI AL-HIKAM”


Jika “al-Hikam” disebut, barangkali yang pertama tebersit dalam benak Anda adalahal-Hikam Ibnu Athaillah. Karya itu memang memukau: kedalaman makrifat yang memikat dalam untaian mutiara kata-kata yang memesona. Maka, wajar, jika ia sangat tenar.
Namun, tahukah Anda, sebelum al-Hikam Ibnu Athaillah itu ditulis, bahkan jauh sebelum penulisnya lahir, telah ada karya al-Hikam lain, yaitu al-Hikam al-Ghautsiyyahyang ditulis Abu Madyan Syu‘aib ibn al-Husain al-Anshari (Abu Madyan lahir pada 520 H dan meninggal pada 594 H. Sementara—tidak ada catatan yang tegas—Ibnu Athaillah diperkirakan lahir pada antara 658 H dan 679 H. Jadi, lebih dari enam puluh tahun setelah kepergian Abu Madyan, baru lahirlah Ibnu Athaillah).
Kini, al-Hikam al-Ghautsiyyah telah berusia lebih dari delapan ratus tahun, dan dengan bangga kami menghadirkannya untuk Anda. Bila buku demikian bermutu, tak ada yang lama ataupun yang baru; yang ada, Anda belum tahu ….
Siapa Abu Madyan? Abu Madyan lahir di Cantillana—kota kecil berjarak sekitar tiga puluh dua kilometer dari Sevilla (Spanyol)—sebagai yatim. Sejak muda, ia telah tertarik dengan kajian Al-Quran dan tasawuf. Ia pun pergi ke Fes di Afrika Utara untuk berguru. Ia menemui Syekh Abu al-Hasan ibn Harzahim untuk mendalami Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali, menemui Abu al-Hasan Ali ibn Ghalib untuk mendalamial-Sunan karya Imam al-Tirmidzi, menemui Abu Abdillah al-Daqqaq dan Abu al-Hasan al-Salawi untuk mendalami tasawuf, dan guru-guru lainnya. Dari al-Daqqaq, Abu Madyan mendapatkan khirqah: jubah sufi sebagai simbol bahwa seseorang telah lulus dan diterima sebagai salik atau penempuh jalan ruhani. Pada perjalanan hidup selanjutnya, Abu Madyan menjadi salah satu sufi Andalusia  paling berpengaruh, melahirkan banyak murid yang lalu menjadi syekh, sehingga Abu Madyan dijulukiSyaikh al-Syuyûkh (mahaguru).
Dan, al-Hikam al-Ghautsiyah karyanya adalah di antara yang terpenting dalam kajian tasawuf. Paling tidak ada tiga karya yang mengulas (atau yang disebut dengan karyasyarh, ulasan): al-Bayân wal Mazîd al-Musytamil ‘alâ Ma‘âni al-Tanzîh wa Haqâ’iq al-Tawhîd karya Syekh Baisyan, al-Mawâd al-Ghaytsiyyah Syarh al-Hikam al-Ghautsiyyahkarya Syekh al-Alawi, dan terakhir adalah yang terjemahannya sekarang ada di tangan Anda, Syarh al-Hikam al-Ghautsiyyah karya Syekh al-Imam al-‘Allamah Syihabuddin Ahmad ibn Ibrahim al-Makki yang dikenal dengan Ibn ‘Ilan al-Shiddiq al-Syafi‘i (w. 1033 H). Di antara buku-buku ulasan lainnya, buku ini yang paling singkat tapi padat. Selain itu, Ibn ‘Ilan menjadikan al-Hikam al-Ghautsiyah berbobot. Ia kutip ayat Kitab Suci dan hadis Nabi untuk hikmah-hikmah terkait, membuatnya memiliki dasar yang kuat; tidak untuk mencari pembenaran, tapi untuk menguatkan kebenaran. Ibn ‘Ilan sendiri seorang tokoh sufi terkemuka pada masanya dan ulama yang produktif menulis, terutama tema tasawuf.
Kami merasa beruntung mendapatkan naskah Syarh al-Hikam al-Ghautsiyah yang telah ditelaah. Penelaahnya, Ahmad Farid al-Mazidi, meneliti kitab tersebut secara saksama: menyebutkan nama surah dan ayat Al-Quran, menakhrij (menyebut sumber riwayat) hadis-hadis, menjelaskan kata dan kalimat yang kurang dikenal artinya, memperkaya tema dengan kutipan-kutipan dari para ulama …. Semua itu membuat kami percaya diri mempersembahkan buku ini kepada Anda. Selamat menikmati. Selamat meniti hati untuk perubahan diri.
Salam takzim,
Juman Rofarif