Selasa, 16 Agustus 2011

10 RESEP PENCUCI DOSA DAN OBAT PENYAKIT HATI

Hasan Basri RA berkata : Pada suatu hari aku mengelilingi lorong kota Bashrah dan pasarnya bersama seorang pemuda ahli ibadah.  Ditengah perjalanan aku bertemu seorang tabib.  Dia duduk di kursi yang di hadapanya banyak orang baik laki-laki maupun wanita serta anak anak, yang membawa botol berisikan air.  Setiap seorang dari mereka bermaksud meminta obat yang tepat bagi penyakit yang mereka derita.
Selanjutnya majulah pemuda yang ahli ibadah itu kepada tabib tersebut, lalu berkata: "Wahai tabib, apakah engkau mempunyai obat yang dapat membersihkan dosa dan mengobati penyakit hati?"
Tabib tadi menjawab " Punya"
Pemuda itu berkata lagi " Tolong berilah aku obat tersebut."
Tabib menjawab " Ambilah sepuluh resep dariku berikut ini :
  1. Ambilah akar pohon kefakiran dan akar pohon ke tawadhu'an.
  2. Masukan akar tobat ke dalamnya.
  3. Masukkanlah ketiga unsur itu ke dalam lesung ridha.
  4. Tumbuklah sampai halus dengan tumbuk qana'ah
  5. Masukan semua itu dalam panci taqwa.
  6. Tuangkan air malu ke dalamnya.
  7. Didihkan semua itu dengan api mahabbah.
  8. selanjutnya, tuangkan semua itu ke dalam mangkuk syukur
  9. Dinginkan apa yang ada di dalam mangkuk syukur itu dengan kipas raja'
  10. Minumlah semua itu dengan sendok pujian.
 Jika engkau dapat melaksanakanya, maka semua itu akan menyelamatkan dirimu dari berbagai jenis penyakit dan musibah di dunia dan akhirat."

Kefakiran dan ketawadhu'an diibaratkan dengan sebuah pohon, sebab keduanya merupakan sesuatu yang tinggi nilainya di sisi Alloh SWT.  Adapun akar berfungsi sebagai faktor hidupnya sebuah pohon.  Maknanya adalah carilah faktor-faktor yang bisa menjadikan seseorang mampu menerima kefakiran secara ridha dan mampu bersikap tawadhu.
Ibnu Athaillah berkata " Tawadhu' akan menjadikan seseorang mudah menerima kebenaran."
Ibnu 'Abbas berkata " Termasuk kategori tawadhu' adalah seorang mau minum dari sisa air minum saudaranya."
Al Qusyairi berkata "kefakiran adalah simbolnya auliya'(para wali), permatanya ashfiya'(orang orang yang berhati bersih), dan merupakan sesuatu yang Alloh pilihkan untuk hamba-hamba pilihan-Nya dari atqiya' (mereka yang bertakwa) dan anbiya'(para nabi).
Abu 'Abdullah Al Quraisyi berkata "Hakikat mahabbah (rasa cinta) adalah memberikan semua yang engkau miliki kepada pihak yang engkau cintai hingga tidak bersisa sedikit pun."

Raja' (penuh harap) adalah senang dengan adanya karunia alloh.  Ada pula yang mengatakan bahwa raja' adalah meyakini luasnya rahmat Alloh.

Disunting dari "NASHAIHUL IBAD" karya  Imam Nawawi Al Bantani .

MEMAKNAI SABAR



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS Ali 'Imran [3]:200)


Dalam firman ini, ada suatu sikap dan perilaku yang istimewa dalam pandangan Allah SWT. Sifat tersebut adalah sabar.
Jaminan Allah SWT terhadap orang yang bersabar adalah akan dicukupkan pahala mereka dalam jumlah yang tak terbilang, sebagaimana firman-Nya, 

قُلْ يعِبَادِ الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُواْ فِي هَـذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

''SKatakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
'' (QS Az-Zumar [39]:10).

Syekh Salim Al-Hilali, pensyarah kitab Riyadhush Shalihinkarya Imam Nawawi, memaknai sabar dengan suatu sikap yang mampu mengendalikan diri dalam berbuat taat kepada Allah. Dari sini, akan sempurnalah kesabaran seseorang ketika memenuhi tiga unsur. Pertama adalah sabar dalam ketaatan. Dalam menjalani perintah-Nya, diperlukan pengabdian dan perjuangan yang luar biasa. Tuntutan dari sana sini mengharuskan kita istiqamah dan sabar untuk menjalaninya.
Unsur kedua adalah kesabaran dalam menghadapi kemaksiatan. Pendeknya, seorang Muslim dituntut menjauhi dan meninggalkan larangan dan kemaksiatan. Oleh karenanya Allah berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

 ''Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan mengujimu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.'' (QS Muhamad [47]:31).
Ketiga adalah kesabaran dalam mendapati musibah. Ketetapan dan takdir Allah kepada hambanya tentu berbeda. Termasuk di dalamnya ujian dari Allah dalam kesengsaraan ataupun sesuatu yang ditakutkan serta tidak di inginkan. Ketika kita menghadapi hal tersebut, kita bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT tanpa keluh kesah, karena berprinsip semuanya datang dari Allah, dan Allah akan memberikan kepada hambanya dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.

K.H. Abdullah Salam Kajen Pati

MBAH DULLAH
Dari Notes Simbah Kakung (KH MUSTOFA BISRI) di Facebook


Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya'ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

MBAH DULLAH

Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun!Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.

SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!

Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.

Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.

Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak  lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.

Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.

Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama,  yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.

Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang,  memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.

Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk  kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.

Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? 

Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang  hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun  melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).

Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau. 

Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.

Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kokdikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana  dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. 
Memang hanya hamba yang fakir  ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang  sebenar-benar kaya.

Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan  menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.

Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.

Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambilyang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.

Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.

Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.

Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana  dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.

Waba’du; sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst.  Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!

Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin--  melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.

Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan  kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.

Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam  golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”

Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun!     

KH. ALI MAKSUM

KH. Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem, kota tua di Jawa Tengah dari keluarga ulama keturunan Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren yang tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Masa muda beliau habiskan dengan berguru dari pesantren ke pesantren. Dimulai dari ayahnya sendiri yang juga seorang kyai ulama besar, beliau kemudian nyantri kepada Kyai Amir Pekalongan untuk kemudian melanjutkan kepada Kyai Dimyati Tremas Pacitan Jawa Timur. Sejak di Termas inilah beliau terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus madrasah pesantren dan membuat karangan tulisan.

Tak lama setelah diambil menantu oleh KHM Munawwir al Hafidh al Muqri Krapyak Yogyakarta, beliau dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta untuk dapat berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau pergunakan pula untuk melanjutkan mengaji tabarrukan kepada para ulama Mekah: Sayyid Alwi al Maliki Al Hasni, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan sebagainya.
Setelah dua tahun mengaji di Mekah Kyai Ali kembali ke tanah Jawa. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal Kyai Munawwir Krapyak, Pondok Krapyak memerlukan beliau untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama-sama dengan KHR. Abdullah Affandi Munawwir dan KHR. Abdul Qadir Munawwir.
Akhirnya beliau menghabiskan umur dan segenap daya upaya beliau untuk merawat dan mengembangkan Pondok Krapyak, yang pada saat diasuh mendiang Kyai Munawwir merupakan cikal bakal pesantren al Qur’an di Indonesia.
Di bidang pendidikan pesantren, beliau merintis pola semi moderen dengan sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Beliau juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di bidang kemasyarakatan dan politik, beliau pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rejim Orde Lama. Dalam organisasi para kyai, Nahdlatul Ulama, beliau pernah memangku jabatan Rais ‘Aam Syuriyyah yang mengantarkan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru.
Di sela-sela mengasuh seribuan santrinya, beliau menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di masyarakat, mengawasi sendiri pembangunan gedung-gedung pondok dan menulis kitab-kitab. Hujjah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Tasrif ul Kalimah fis Shorf, Ilmu Mantiq, adalah beberapa dari kitab berbahasa Arab susunan beliau.
Sebelum meninggal pada akhir 1989, dari sentuhan tangan beliau telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Dari keteguhan beliau, Pondok Krapyak beberapa hari sebelum beliau meninggal menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.
Dari kesabaran beliau yang selama hidup dibantu oleh istrinya Nyai Hasyimah Munawwir, telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzil Qur’an dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa.
Pondok Pesantren Krapyak, setelah kemangkatan beliau tahun 1989, pengelolaannya ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Yayasan ini sekarang dipimpin oleh KH Attabik Ali yang merupakan putra pertama dari KH Ali Maksum.